Karmakronik Dikemas 03/03/2004 oleh Editor Tetanggaku bercerita berapi-api tentang babi yang gantung diri pakai dasi. Katanya, dia melihat dengan mata kepalanya sendiri bersama mata kepala selingkuhannya, tadi, di belakang kantor kelurahan yang sudah sepi. Bukan cuma itu, mereka, katanya, juga mendengar babi itu merintih minta tolong. Begitu ketakutan mereka hingga tak jadi menjalankan niatnya untuk sabung birahi. Lari. Lalu setelah mengantar selingkuhannya pulang, dia segera ke rumahku untuk menceritakan semua yang dilihatnya itu. juga semua yang didengarnya. semua yang dilihat dan didengar olehnya bersama dengan selingkuhannya. Bagaimana bisa dipercaya? Sekalipun dia adalah tetanggaku dan juga temanku yang paling jujur, dan semua orang di kampung ini tahu itu. Bahkan pada istrinya pun jujur dia katakan kalau dia berselingkuh. Tapi seperti biasa, karena begitu terkenal reputasinya sebagai orang jujur, istrinya menganggap dia bercanda. Istrinya sering mengatakan ke tetangga-tetangga bahwa selain jujur, suaminya itu suka bercanda. Romantis, katanya. Sudahlah, aku tak mau ikut campur masalah rumah tangga orang. Tapi aku pikir kali ini dia mengada-ada. Tapi, sebagai temannya aku tak ingin reputasinya hancur gara-gara masalah babi ini, jadi aku menganjurkannya supaya dia tidak menceritakan hal ini ke orang lain. Karena, jujur saja, aku seringkali membutuhkan kejujurannya itu untuk kepentingan-kepentinganku. Bagaimana bisa, atau bagaimana caranya, biarlah itu jadi rahasia kami saja. Yah, mungkin aku bukan teman yang baik, apalagi sejati, cuma teman saja, teman kebanyakan, seperti kebanyakan seorang teman. Tapi aku lebih suka menyebutnya: realistis. Dan, sebagai orang yang realistis, tentu aku tak bisa begitu saja percaya pada cerita tetanggaku itu yang ... apa namanya? surealis? yah, apalah itu, pokoknya tidak logis. Menurutku kemungkinan yang paling masuk akal jika memang yang dilihat tetanggaku itu benar--wah, mengapa aku jadi mulai sangsi dengan kejujurannya?--maka ada seseorang yang menjerat leher seekor babi dan menggantungnya di belakang kantor kelurahan. Tentang suara minta tolong itu? Entah, tapi, karena aku sudah terlanjur menyangsikan kejujurannya, aku berpikir itu konspirasi mereka untuk mendramatisir ceritanya. Maka, demi pelurusan kebenaran dan pemenuhan rasa penasaran, aku mengajak tetanggaku itu untuk melihat lokasi kejadian. Hampir saja aku menanyakan apa dia masih ketakutan, tapi kemudian aku sadar kalau dua atau lebih laki-laki melahirkan keberanian (agar lebih fair, begini versi lengkapnya: "satu orang laki-laki mengahasilkan omong besar, dua atau lebih laki-laki menghasilkan keberanian"), itu sudah hukum alam. Setidaknya, menurutku. Benar, dia langsung menyetujuinya dan terlihat begitu bersemangat Dan, ternyata juga benar apa yang dikatakannya. Aku melihatnya, seekor babi tergantung dengan dasi yang menjerat lehernya. Seekor babi yang besar. Dan terlihat segerombolan tikus mengerubunginya di bawah seakan mengharap dasi itu putus dan babi itu jatuh agar bisa menyantapnya. Beberapa dari mereka, yang berbadan besar, berusaha menjilat kaki belakang babi yang berjarak beberapa senti dari tanah, sambil sesekali meloncat-loncat. Menjijikkan. Tentu saja, seperti perkiraanku, tak ada suara minta tolong. Tapi aku tak mau membahasnya lagi, tetanggaku pasti akan berkelit mengatakan kalau babi ini sudah sepenuhnya mati, jadi tentu saja tak bisa lagi bersuara. Aku juga tak ingin berdiskusi dengan tetanggaku ketika sekilas kulihat lidah tikus-tikus yang menjilat kaki babi itu bercabang, seperti lidah ular. Bahkan aku sendiri sejujurnya tak begitu yakin apakah tikus punya lidah. Aku malas mendengar teori tetanggaku yang pasti akan mengatakan bahwa itu tikus-tikus itu adalah tikus surealis dari negeri tidak logis yang datang dengan tujuan mistis dan seterusnya dan seterusnya. Dan aku melihat tetanggaku juga tak bernafsu membahasnya, wajahnya terlihat tegang menyaksikan pemandangan menjijikkan ini Tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara teriakkan. Benar-benar dikejutkan. Kami sama-sama melompat karenanya. Sialan!. Arah suara itu berasal dari seseorang yang berlari ke arah kami. Kami mengenalnya, tetangga kami juga. Sehari-harinya dia bekerja sebagagi kenek angkutan desa. Orang jujur juga, tapi reputasi kejujurannya tidak setinggi temanku. Sesekali pernah dia ketahuan berbohong. Kalau menurutku pribadi, tetanggaku yang kenek lebih baik dari tetanggaku yang temanku ini. Dia memang beberapa kali berbohong, tapi aku tahu itu untuk tujuan baik, sedangkan temanku sering memanfaatkan kejujurannya, atau lebih tepatnya, reputasi kejujurannya, untuk tujuan yang busuk. Tapi, sejujurnya pula, aku tak peduli. Sejenak kami bisa melupakan ketegangan dan rasa jijik melihat tetanggaku yang kenek itu berlari dari kejauhan sambil berteriak-teriak. Ada yang lucu padanya: dia memakai setelan jas. Kami saling berpandangan tersenyum geli. Kami tahu, jas jelas di luar jangkauan kebutuhan dan kemampuannya. Tak banyak, mungkin hanya satu dua orang di kampung ini yang punya jas, dan pasti tetanggaku yang kenek itu berada bersama kelompok mayoritas. Tapi tak ada sama sekali di benak kami kalau jas yang dia pakai itu hasil mencuri, seperti kataku tadi, dia juga orang jujur. Hanya geli, ekspresi muka dan pembawaannya itu sama sekali tidak match dengan jas yang dia pakai. “Sudah mati? Babi sialan. Aku yang menggantungnya tadi,” katanya setengah terengah setelah tadi berlari mendekati kami. Ah, akhirnya, logika pemenangnya. Gantung diri? Hahaha aku melirik setengah mengejek ke arah temanku, tapi dia pura-pura tak melihatnya. Sudahlah, lagi pula ternyata tak sepenuhnya logis apa yang diceritakan tetanggaku yang kenek ini. Dia mengatakan kalau memergoki babi itu sedang berusaha mencuri uang simpanannya di lemari. Babi itu lari dan tetanggaku itu mengejarnya sampai akhirnya berhasil menangkap dan menggantungnya di sini. Rumahnya memang tak jauh dari kantor kelurahan ini. Tetapi, biarlah, cerita babi jadi-jadian yang suka mencuri atau lebih dikenal dengan nick name-nya "babi ngepet", masihlah bisa diterima oleh orang kampung. Walaupun menurutku ini adalah babi betulan yang masuk ke rumahnya, menabrak lemarinya hingga terbuka, mengendus-endus isinya, tanpa trik. Ah, tapi tak ada gunanya aku mendebatnya. Di kampung ini hiburan yang ada sangat sedikit, dan cerita-cerita konyol seperti itu salah satunya, jadi aku tak tega merusaknya. Tetanggaku yang kenek itu juga mengatakan kalau dia terpaksa meninggalkan babi ini tanpa langsung menurunkannya karena ingat ada janji ketemu dengan juragannya, pemilik angkutan desa. Entah urusan apa, dia tidak mengatakannya, tapi tampaknya penting sehingga katanya dia terpaksa meninggalkan babi ini dalam keadaan belum mati. Aku dan temanku cuma manggut-manggut mendengar ceritanya. Semoga dia tidak menangkap ekspresi kami yang menahan tawa melihat ketidakserasian jas yang dipakainya itu. Mungkin jas itu didapatnya dari juragannya. Entah hadiah, atau karena juragannya itu kelebihan jas, atau mungkin ada yang ukurannya kekecilan, daripada dibuang lebih baik disumbangkan ke pegawainya. Ya, mungkin seperti itu. Tapi aku tak berani menanyakannya, takut tawaku lepas. Juga temanku, dia diam saja dari tadi. Mungkin dia sadar bahwa tidak selalu kejujuran harus diungkapkan. Jadi, maksud tetanggaku yang kenek itu kembali ke sini adalah untuk memastikan babi itu mati dan menurunkannya. Dia tak mau kejadian itu menghebohkan kampung ini. Makanya dia juga terus-menerus mengingatkan kami untuk tidak menceritakan hal ini ke tetangga-tetangga yang lain. Bagiku tak jadi masalah, aku cuma khawatir dengan temanku yang paling tidak bisa menjaga rahasia, atau menurutnya, menahan kejujuran. Tapi setelah kupikir lagi, untuk apa aku khawatir, tak juga jadi masalah buatku kalau semua orang tahu kejadian ini. Kami mengangguk. “Nanti biar aku yang menguburnya. Ingat, jangan bilang siapa-siapa,” sekali lagi dia mengingatkan, entah sudah yang keberapa kalinya. Dan kami mengangguk lagi. Aku jadi berpikir kalau dia sebenarnya tahu siapa pemilik babi itu dan dia takut kalau orang itu sampai tahu dia yang membunuh babi peliharaannya. Tapi, seingatku, di kampung ini tak ada yang memelihara babi. Entahlah. Lalu dia mendekati babi yang tergantung itu, untuk menurunkannya. Tikus-tikus aneh tadi langsung berlarian melihat ada yang datang mendekat. Ternyata ia kemari bukan hanya untuk memastikan babi itu sudah mati dan menurunkannya, tapi, “Aku juga kemari untuk ambil dasi ini. Yang untuk menjeratnya ini.” “Kenapa mengikatnya pakai dasi?,” tak tahan aku untuk bertanya. “Tidak ada tali, jadi aku pakai dasinya saja.” “Dasinya?,” kali ini aku dan tetanggaku hampir bersamaan. “Ya, babi sialan ini memang tadi memakai dasi. Ya, dasi ini...,” katanya setelah berhasil melepaskan ikatan dasi pada leher babi itu. “Juga jas yang sekarang aku pakai ini.” 03/2004